Kamis, 24 Oktober 2013

PENGAMAT BATIK AMATIR

Sebagai penggemar batik, saya cukup sering menyambangi pameran-pameran batik yang kerap digelar di Jakarta. Hampir setiap bulan ada acara tentang batik. Tidak semua bisa saya hadiri. Paling-paling sekitar 6 atau 7 pameran. Yang terbesar sih Adiwastra dan Gelar Batik Nusantara. 

Setiap kali datang ke sebuah pameran, selain batik-batik, para pengunjungnya pun menyedot perhatian saya. Maksud saya, saya senang mengamati para pengunjung pameran itu. Memperhatikan busana dan dandanan mereka. Sering juga diam-diam memotretnya. Biasanya, suka dapat ide dari gaya busana yang mereka kenakan. 

Saat itulah mata saya dimanjakan dengan pemandangan kain-kain cantik yang dipakai para tamu, terutama kaum perempuannya. Tak jarang juga saya merinding menyadari alangkah kaya dan indahnya seni wastra Indonesia. Agung, cantik, anggun, dan bermartabat. Tak kalah hebat dengan busana-busana produk luar negeri. 









IBU INDRA TJAHJANI

Bertemu Ibu Indra Tjahjani di pameran batik Jawa Barat yang berlangsung di Museum Tekstil Jakarta mestinya sebuah hal yang sudah terduga mengingat Bu Indra adalah sosok yang lekat dengan batik. Buat para penggemar batik, perempuan berusia menjelang 60 tahun  ini tentu sudah sangat dikenal. Penampilannya yang selalu khas--berkebaya dan berjarit batik--merupakan wujud kecintaannya kepada wastra Nusantara, khususnya batik.


Pertemuan pertama saya dengannya terjadi beberapa tahun yang lalu di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Lalu disusul pertemuan berikutnya di Museum Bank Mandiri Kota dalam sebuah pameran batik Madura.

Selain menggemari batik, Ibu Indra juga mahir membatik. Bagi yang ingin belajar membatik, silakan berguru kepada beliau.

Sabtu, 17 Agustus 2013

LERAK SAHABAT BATIK

Setiap mendengar atau membaca kata “lerak” (nama latinnya Sapindus rarak dc) yang teringat di kepala saya adalah batik. Kelekatan keduanya hampir mirip seperti semir dan sepatu. Tapi banyak juga sih yang belum tahu lerak, termasuk saya, belum pernah melihat buah yang dikenal juga dengan sebutan soapberry itu.


Lerak adalah sejenis tumbuhan yang bijinya digunakan sebagai bahan pembuat sabun. Dahulu sekali, sabun tradisional dari lerak ini dipakai untuk mencuci kain dan baju, terutama batik, karena dipercaya dapat menjaga kualitas dan warna batikan awet lebih lama. Sampai sekarang lerak masih dianggap sebagai bahan pencuci batik terbaik, sehingga mulai banyak diproduksi untuk konsumsi masyarakat luas. Apalagi kini batik tengah naik daun, permintaan akan lerak pun meningkat. Dan berlakulah hukum supply and demand.


Biji lerak yang mirip kurma ini mengandung saponin yang dapat berfungsi sebagai deterjen pembersih, bukan hanya kain batik tetapi juga perkakas dapur. Limbahnya pun ramah lingkungan, tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.

Selain itu, menggunakan sabun lerak lebih irit dibanding deterjen biasa. Satu tutup botol kecil (botol aqua) lerak bisa untuk mencuci 3-4 helai kain batik. Campurkan lerak ke dalam setengah ember air dan rendam kain selama 10-15 menit. Lalu kucek-kucek kain dengan gerakan lembut. Bilas dengan air hingga busanya hilang, lalu jemur di tempat teduh.


(Diolah dari berbagai sumber).

Senin, 05 Agustus 2013

PADUAN BATIK & JINS

Meskipun eksistensi dan kemuliaan batik telah diakui dunia internasional, masih banyak juga orang Indonesia yang enggan pakai batik. Biasanya kalangan anak muda. Bermacam-macam alasan mereka. Modelnya kuno lah, nggak gaul lah, kayak orang tua lah, dan lain-lain.


Alasan tersebut sepertinya cuma dalih, karena sejak dulu, apalagi sekarang, sudah banyak batik bermotif kontemporer dan modern sehingga bisa dikenakan anak-anak muda dan gaul. Para perancang mode juga sudah banyak mencipta kemeja kasual berbahan batik.


Misalnya, dipadu-padankan dengan denim dan jins. Walaupun motifnya klasik, tetap trendy dan modis karena pilihan warna dan modelnya yang kasual. Bahkan untuk anak-anak pun oke.


Dan bukan cuma kemeja, jaket batik juga tak kalah keren. So... batik? Kenapa nggak?







Selasa, 30 Juli 2013

BATIK SAPUAN

Nama batik ini saya temukan pertama kali di Gelar Batik Nusantra (GBN) 2013 yang lalu. Dalam pikiran saya, yang dimaksud batik Sapuan adalah batik yang dibuat lewat sapuan kuas layaknya lukisan. Dugaan saya didukung oleh fakta bentangan kain-kain batik cantik bak lukisan yang menempati salah satu koridor arena GBN. Batik-batik yang dipajang tersebut adalah milik Ibu Darwina Pontjo Soetowo.


Keindahan kain-kain batik itu sungguh memukau. Mereka memang sengaja dipamerkan hanya untuk dilihat, dipandangi dari jauh, seperti menikmati lukisan. Gambar-gambarnya sebagian mirip lukisan kontemporer. Sebagian lagi berupa lukisan wayang. Kain-kain berukuran 3x1 meter itu seolah kanvas besar yang memuat cerita.


Dan semua batik itu dibuat oleh Sapuan (48), seorang seniman batik asal Pekalongan, tepatnya Desa Tunjungsari.  Sebelum terpikat pada batik, Sapuan adalah guru di sebuah SMP negeri di Pekalongan. Sarjana pendidikan ini jatuh cinta pada batik pertama kali ketika dia melihat kain batik di jemuran rumah temannya. Namun, sesungguhnya sebagai anak asli Pekalongan, batik tentu bukan barang asing baginya.  


Lalu ia mulai mencoba berbisnis batik. Berkali-kali ia jatuh-bangun, tetapi semangatnya tak patah. Sampai akhirnya pada 2006 dia memutuskan untuk menjadi “pembatik”.


Batik-batik ciptaannya sangat khas dan masing-masing memiliki tema dan cerita yang filosofis, sehingga bisa dinikmati seperti lukisan. Batik-batik karyanya banyak dikoleksi kalangan menengah atas mengingat harganya yang cukup mahal (rata-rata di atas 5 juta rupiah). Biasanya, para kolektor menggunakan batik tersebut sebagai hiasan dinding untuk dipandangi. Dan memang, mengkhidmati batik-batik Pak Sapuan ini bisa mengurangi stres. Gimana nggak senang melihat pemandangan indah tersaji di selembar kain?


Bagi saya, cukuplah membelainya dengan pandangan mata. Kalau untuk membeli, lah ya saya malah jadi stres.






BATIK KUDUS

Menurut sejarahnya, batik Kudus sudah ada sejak 1935, dikembangkan oleh penduduk asli Kudus dan pendatang dari Cina. Motif dan warna-warnanya yang cerah terang lebih mirip batik pesisir. Motif yang paling menonjol dan menjadi ciri khas adalah daun tembakau dan bunga cengkih dengan isen-isen beras wutah atau beras mawur. Tentu ini terkait erat dengan Kudus yang terkenal sebagai Kota Kretek. Pada 1970-an, industri batik tulis dan cap di Kudus mengalami masa keemasan. Namun, satu dasawarsa kemudian keadaan berbalik menjadi mundur drastis akibat serbuan batik printing. Usaha batik rumahan banyak yang gulung tikar dan para pembatiknya beralih profesi menjadi buruh pabrik rokok.

Sepertinya, sampai sekarang kondisi tersebut belum banyak berubah. Hal ini bisa dilihat di Gelar Batik Nusantara (GBN) 2013: hanya ada satu gerai batik Kudus.  

Motif-motif batik Kudus:

  1. Daun Tembakau
  2. Bunga Cengkih
  3. Buruh Pabrik Rokok
  4. Petani Tembakau
  5. Menara Kudus
  6. Kapal Kandas
  7. Gebyok (penyekat ruangan)
  8. Parijoto (nama tumbuhan  yang banyak tumbuh di Gunung Muria)

Senin, 29 Juli 2013

BATIK TEGAL

Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi Tegal. Di kota yang terkenal dengan wartegnya ini saya menyempatkan diri blusukan ke Desa Keturen demi mencari batik.

Nama desa ini saya dengar pertama kali dari seorang teman di Facebook. Dia bilang kakak perempuannya adalah seorang pembatik dan tinggal di Keturen. Maka, selagi di Tegal itu, berkunjung ke Desa Keturen masuk dalam daftar acara saya.

Setelah berjumpa Idah dan suaminya, Chafid, saya jalan-jalan sedikit melihat-lihat keadaan desa tersebut. Di desa ini ternyata terdapat cukup banyak pembatik, walaupun umumnya sudah pada tua. Namun sayangnya tidak ada yang membina mereka, terutama perkara marketing, sehingga batik-batik itu tidak dikenal luas.


Idah, dibantu suaminya, mulai tekun membatik sejak 2008. Ia belajar membatik lewat kursus-kursus di kotanya. Kursus-kursus itu mengajarinya  cara menggambar motif, membatik, hingga mencelup/mewarnai. Kini, dalam sebulan Idah mampu menghasilkan 3 helai kain batik tulis ukuran 110x220 cm untuk motif-motif yang tidak terlalu rumit dan tidak banyak warna. Kalau untuk motif-motif yang rumit dan banyak warna, dia mengaku cuma sanggup menyelesaikan selembar kain dalam 1 bulan.

Tetangga yang tinggal di depan rumah Idah juga membatik.  Waktu saya temui, ia sedang "ngerok", merontokkan malam dari kain yang dibatiknya. Saya ingin melihat batik-batik buatannya, tetapi dia bilang dia tidak punya stok, karena begitu jadi dia akan langsung menjualnya di pasar atau ke pemesan. Batik Tegal tidak kalah cantik loh dengan batik dari daerah lain.



Sabtu, 27 Juli 2013

MELIRIK LURIK

Lurik berasal dari kata Jawa Kuno, lorek, yang artinya lajur, garis, belang, atau corak. Pada dasarnya lurik adalah kain tenun. Dahulu kala, lurik ditenun hampir di seluruh daerah di Pulau Jawa, mulai dari pedalaman hingga pesisir, dengan corak yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan banyaknya corak kain lurik tersebut. Sayangnya, seiring zaman yang berubah, sudah banyak lurik yang tidak lagi dibuat. Saat ini daerah yang masih cukup produktif menghasilkan lurik adalah Tuban, Jawa Timur.

Secara garis besar, corak dasar lurik ada 3:

1. Corak Lajuran: garis-garisnya membujur searah benang lungsi.
2. Corak Pakan Malang: garis-garisnya melintang.
3. Corak Cacahan atau Kotak-Kotak: garis-garisnya merupakan persilangan antara lajuran dan pakan malang.

Dari ketiga corak dasar ini kemudian muncul corak-corak turunannya. Sekarang ini lurik sudah banyak dikenakan sebagai busana sehari-hari, misalnya berupa celana panjang, blazer, kemeja, atau rok. Jika pandai memadu-padankannya atau memilih model yang pas, lurik tak kalah cantik dari batik.


Jumat, 26 Juli 2013

MERDI SIHOMBING

Saya baru mengenal nama Merdi Sihombing saat menghadiri pembukaan pameran ulos yang diberi nama Partonun Ulos di Galeri Nasional, 17 Juli 2013. Saat itu pula saya tahu lelaki Batak ini sangat peduli pada pelestarian ulos, kain tradisional Batak.

Dalam kesempatan tersebut Merdi anatara lain menyampaikan keprihatinannya mengetahui banyak sekali ulos klasik yang sudah tidak diproduksi lagi. Sebagai orang Batak, Merdi merasa terpanggil untuk menyelamatkan eksistensi ulos.

Salah satu upaya yang dilakukannya adalah memproduksi kembali ulos-ulos klasik yang sudah langka itu. Dalam membuat ulos-ulos ini dia menggunakan bahan-bahan pewarna alami yang ramah lingkungan. Di pameran yang akan berlangsung hingga 16 Agustus ini, dia menampilkan ulos-ulos koleksinya. Dia juga menggelar "fashion show" bertema ulos lewat para model yang berpose sebagai manekin. Tampaknya, melalui peragaan busana yang unik itu, Merdi ingin menyampaikan pesan bahwa ulos bisa juga dipakai sebagai busana yang modis. Dan tentu, Merdi ingin mengajak kita  ikut menjaga kelangsungan hidup ulos-ulos tersebut.

Sebuah upaya yang patut dihargai, menurut saya.

ENUNG NURUL

Salah satu yang menarik dari mengunjungi pameran-pameran batik adalah bertemu dengan para pencinta batik, perajin batik, pengusaha batik, pengamat batik, atau para pembatik. Pada kesempatan mengunjungi Gelar Batik Nasional (GBN) 2013 yang lalu (17-21 Juli) saya sempat bertemu dengan Bapak Enung Nurul dari Tasikmalaya, tepatnya Sukapura.


Bapak Enung yang saya taksir usianya sekitar 70 tahun itu menempati sepetak kecil di area pameran. Tak tampak mencolok, kalah oleh gerai-gerai batik lain yang besar-besar. Pak Enung ini sudah membatik sejak 40 tahun lalu.

"Saya pernah dikasih penghargaan sama Pak Beye, Bu," kisahnya. tanpa bermaksud pamer, sembari merayu saya agar membeli batik-batik tulisnya yang memakai pewarna alami. Batik-batiknya sederhana dengan motif-motif khas Tasikmalaya: rereng, kawung, awi, dan daun keladi. 

Di pameran itu Pak Enung ditemani seorang pegawainya. 

Kamis, 25 Juli 2013

GALEMBONG

Galembong, berasal dari kata sarawa (celana) galembong, adalah celana silat tradisional Minang (Sumatra Barat). Umumnya berwarna hitam dengan bagian pinggang dan pipa celana yang lebar, mirip sarung. (Gambar atas).

Kini, gaya berkain galembong banyak dikenakan oleh pria dan wanita, baik sebagai busana kasual ataupun resmi.

Cara mengenakan kain gaya galembong mudah sekali. Ambil salah satu bagian lebar kain. Lilitkan di pinggang dan ikat di bagian belakang. Ambil bagian lebar yang satunya lagi. Lilitkan di pinggang dengan sebelumnya melewati antara kedua kaki, lalu ikat di bagian depan (gambar bawah).

NGLOWONG


Adalah tahap pertama pelekatan lilin/malam dengan canting pada batik tulis (biasanya sudah digambar dulu polanya pada proses NYOREK atau NYORET) atau cap untuk batik cap.
Nglowong pada satu sisi kain disebut NGRENGRENG. Jika diteruskan ke sisi sebelahnya, disebut NERUSI. Proses nglowong bertujuan menutup bagian-bagian gambar yang tidak ingin diwarnai.