Nama batik ini saya temukan
pertama kali di Gelar Batik Nusantra (GBN) 2013 yang lalu. Dalam pikiran saya,
yang dimaksud batik Sapuan adalah batik yang dibuat lewat sapuan kuas layaknya
lukisan. Dugaan saya didukung oleh fakta bentangan kain-kain batik cantik bak
lukisan yang menempati salah satu koridor arena GBN. Batik-batik yang dipajang
tersebut adalah milik Ibu Darwina Pontjo Soetowo.
Keindahan kain-kain batik itu sungguh
memukau. Mereka memang sengaja dipamerkan hanya untuk dilihat, dipandangi dari
jauh, seperti menikmati lukisan. Gambar-gambarnya sebagian mirip lukisan
kontemporer. Sebagian lagi berupa lukisan wayang. Kain-kain berukuran 3x1 meter
itu seolah kanvas besar yang memuat cerita.
Dan semua batik itu dibuat oleh
Sapuan (48), seorang seniman batik asal Pekalongan, tepatnya Desa Tunjungsari. Sebelum terpikat pada batik, Sapuan adalah
guru di sebuah SMP negeri di Pekalongan. Sarjana pendidikan ini jatuh cinta
pada batik pertama kali ketika dia melihat kain batik di jemuran rumah
temannya. Namun, sesungguhnya sebagai anak asli Pekalongan, batik tentu bukan
barang asing baginya.
Lalu ia mulai mencoba berbisnis
batik. Berkali-kali ia jatuh-bangun, tetapi semangatnya tak patah. Sampai
akhirnya pada 2006 dia memutuskan untuk menjadi “pembatik”.
Batik-batik ciptaannya sangat
khas dan masing-masing memiliki tema dan cerita yang filosofis, sehingga bisa
dinikmati seperti lukisan. Batik-batik karyanya banyak dikoleksi kalangan
menengah atas mengingat harganya yang cukup mahal (rata-rata di atas 5 juta
rupiah). Biasanya, para kolektor menggunakan batik tersebut sebagai hiasan
dinding untuk dipandangi. Dan memang, mengkhidmati batik-batik Pak Sapuan ini
bisa mengurangi stres. Gimana nggak senang melihat pemandangan indah tersaji di
selembar kain?